Dosen Unmuh Jember: Kebebasan Penayangan Jurnalisme Investigatif Harus Dijamin

Pengamat komunikasi sekaligus Dosen FISIP Unmuh Jember, Suyono, SH., M.I.Kom. Foto: ANTARA/HO-Humas Unmuh Jember Pengamat komunikasi sekaligus Dosen FISIP Unmuh Jember, Suyono, SH., M.I.Kom. Foto: ANTARA/HO-Humas Unmuh Jember

Jember: Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Suyono, mengatakan bahwa kebebasan penayangan jurnalisme investigasi harus dijamin dalam revisi rancangan Undang-Undang Penyiaran.

"Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers yang harus dijamin kebebasannya," ucap Suyono dikutip dari Antara, Rabu, 15 Mei 2024.

Menanggapi kontroversi pembahasan rancangan UU Penyiaran yang tengah dibahas di Badan Legislatif DPR RI, Suyono menilai, sudah saatnya anggota DPR RI melakukan reorientasi tugas pokok dan fungsinya sebagai anggota dewan.

"DPR merupakan representasi kedaulatan rakyat, seharusnya menjadi kepanjangan tangan rakyat dan menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakilinya, terutama melaksanakan tugas dan fungsinya dalam hal legislasi," katanya.

Menurutnya, DPR tampak selalu reaksioner dalam menyikapi setiap perkembangan yang terjadi, terutama pada perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat mengikuti perkembangan teknologi informasi dan komunikasi masa kini.

"Sikap anggota dewan seperti itu tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik," tuturnya.

Di sisi lain, sejumlah pakar dan lembaga media, termasuk juga Dewan Pers, mengaku tidak pernah diikutsertakan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran, baik dalam proses dengar pendapat maupun proses pembahasan lainnya.

"Wajar kalau draf revisi RUU Penyiaran tidak merujuk UU No.40/1999 tentang Pers dan juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) sebagai konsideran dalam pembahasan RUU tersebut, sehingga wajar jika menimbulkan kontroversi," ucap dia.

Ia menjelaskan, pasal yang dianggap paling krusial adalah Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU Nomor 40 Tahun 1999, tentang Pers karena dalam pasal tersebut berisi larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi.

"Beberapa media mengembangkan jurnalisme investigasi sebagai bahan perbincangan dan diskusi publik melalui media sosial. Informasi dan data lengkapnya ditulis dan dipublikasikan melalui media massa, baik cetak maupun elektronik," ucap nya lagi.

Suyono pun berharap anggota Baleg DPR RI mengundang Dewan Pers, pakar jurnalistik/penyiaran, dan organisasi profesi wartawan untuk melanjutkan pembahasan draf revisi RUU Penyiaran. Ia mengatakan, dengan dilibatkannya pihak-pihak tersebut diharapkan dapat meredam gejolak sekaligus mengakhiri polemik kontroversi RUU Penyiaran yang kian menajam.


(SUR)

Berita Terkait