Menengok Kehidupan Anak Pejuang yang tinggal di Bunker Belanda, Mereka Sering Melihat Ini

Salah satu penghuni bunker Rajawali menunjukkan pintu masuk (Foto / Metro TV) Salah satu penghuni bunker Rajawali menunjukkan pintu masuk (Foto / Metro TV)

SURABAYA : Surabaya menjadi salah satu kota yang menjadi saksi melawan Belanda. Keberadan bangsa Belanda terbukti dari adanya bangunan-bangunan khas Belanda berdiri kokoh di Kota Pahlawan. Salah satunya ialah sebuah bungker di Jalan Rajawali, Surabaya.

Bangunan kuno itu hingga saat ini masih kokoh berdiri sejak puluhan tahun lalu. Dulu, Bunker tersebut pada saat penjajahan dipakai sebagai tempat persembunyian dan pusat radio komunikasi oleh tentara kolonial Belanda. Namun setelah Belanda terusir dari bumi Arek-arek Suroboyo, bunker itu difungsikan sebagai kantor cacat veteran Kota Surabaya.

Tak hanya veteran, tetapi keluarga pejuang kemerdekaan di Kota Surabaya ini juga menempati bunker peninggalan Belanda selama puluhan tahun. Ada lima kepala keluarga anak cucu para pejuang yang masih betah menempati di kompleks bunker ini. Mereka mengaku tinggal di bunker sejak tahun 1950-an setelah Belanda diusir dari Indonesia.

BACA JUGA : Kenang Perjuangan Pahlawan, Berikut 5 Rekomendasi Film di Hari Kemerdakaan RI

Uniknya bunker dengan ketebalan tembok hampir 60 cm dengan pintu besi baja tersebut dikamuflase mirip rumah yang beratap genteng. Sehingga kalau dilihat dari atas pesawat tempur, bunker tersebut layaknya rumah warga biasa. Meski dijadikan tempat tinggal, namun ironisnya bunker yang tergolong bangunan bersejarah tersebut kini kondisinya kurang terawat, kotor dan kumuh.

Anak-anak para pejuang ini sebenarnya sudah mendapat rumah bantuan dari pemerintah, namun letaknya jauh di pinggiran Kota Surabaya. Mereka mengaku senang menempati bunker karena dekat aktivitas pekerjaan mereka di Kota Surabaya.

"Kalau tinggal di sini dekat dengan aktifitas saya bekerja. Saya senang tinggal di sini," katanya.

Endang mengatakan dulu bunker ini tempat pengungsian dan perlindungan Angkatan Darat. Menurutnya, struktur bangunan yang tebal temboknya kurang lebih satu meter serta pintunya dari besi membuat suasana di bunker ini adem. “Tinggal di bunker kalau siang dingin, kalau malam juga dingin. Yang tinggal di sini ya tinggal lima KK, semuanya anak pejuang,” katanya.

Sementara itu, Toto Raharjo, anak pejuang kemerdekaan yang hingga saat ini masih belum mempunyai rumah karena masalah keluarga. Toto berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan nasib anak-anak para pejuang kemerdekaan. Sebab, meski tinggal sejak tahun 1959, hingga kini Toto belum punya rumah.

“Saya tinggal di sini sejak lahir tahun 1959, saya masih bisa menyaksikan trem listri lewat di depan. Sampai saat ini saya belum punya rumah. Ya saya pasrah saja,” katanya.

 

 


(ADI)

Berita Terkait