Berniat Maksiat usai Buka Puasa? Coba Pikir Lagi Deh

Foto: Freepik.com Foto: Freepik.com

Clicks: Bulan yang paling dirindukan dan ditunggu-tunggu oleh umat Islam adalah Ramadan. Pada bulan suci ini, seluruh amal ibadah dilipatgandakan pahalanya. Inilah yang menjadi alasan mengapa umat Muslim berlomba-lomba untuk memperbanyak amal kebaikan pada bulan puasa ini. 

Meski begitu, bukan berarti seluruh orang yang menjalankan ibadah puasa Ramadan tak luput dari kesalahan atau dosa. Sering kali yang terjadi malah seseorang akan lebih mudah tergoda dan mudah terbawa hawa nafsu ketika menjalani ibadah puasa.

Bahkan, ada yang berpikir bahwa tidak masalah untuk berbuat maksiat setelah berbuka puasa. Kebanyakan orang merasa lebih aman untuk berbuat dosa pada malam hari hingga subuh. Satu-satunya alasan seseorang menahan untuk berbuat dosa ketika berpuasa, yakni untuk mempertahankan keabsahan puasanya. 

Baca juga: Terlewat karena Kesiangan atau Disengaja, Bagaimana Hukum Puasa Tanpa Sahur?

Lalu, mindset apa yang seharusnya kita miliki terkait hal tersebut? Dilansir dari NU Online, berikut hal-hal yang harus diingat untuk membenahi dan mengobati anggapan tersebut.

1. Hikmah puasa Ramadan

Syekh Sulaiman al-Jamal pernah mengutip Syekh al-Barmawi mengenai salah satu hikmah diwajibkannya puasa Ramadan. Salah satu hikmah yang dimaksud adalah agar dapat menghasilkan zuhud yang wajib dan sunah. Zuhud wajib adalah menjaga diri dari melakukan keharaman. Sementara, zuhud sunah artinya menjaga diri dari perkara makruh dan hal yang tidak bermanfaat.

Hikmah lainnya adalah mempersempit laju setan dengan lapar dan dahaga. Seperti diketahui, setan akan mengganggu manusia terus-menerus, seperti mengalirnya darah di tubuh. Dengan berpuasa, maka pengaruh-pengaruh negatif bisa dihalau, baik dari setan maupun kebiasaan buruk yang mengandung banyak kejelekan. (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, juz 2, halaman 302)

Apabila umat Islam dapat memaknai hikmah dari puasa Ramadan ini, seharusnya hal itu bisa menjadi rem mereka untuk berbuat keburukan, baik sebelum berbuka puasa maupun setelahnya. Sebab, seseorang semestinya memperbanyak amal ibadah pada Ramadan, alih-alih berbuat maksiat.

2. Larangan Allah mengenai merasa aman dari siksa

Segala kesalahan dan perbuatan dosa yang dilakukan oleh seseorang, tentu ada konsekuensinya. Malaikat senantiasa mencatat amal keburukan manusia di mana pun dan kapan pun. Allah SWT juga Mahamelihat dan Mahamendengar sehingga kita semua tidak akan luput dari pengawasan-Nya. 

Allah mengancam para pendosa dengan siksa-siksa. Tak ada yang tahu kapan siksa itu akan diberikan kepada seseorang. Terkadang siksa itu langsung ditimpakan secepatnya, tetapi bisa saja dibiarkan seperti tidak ada siksa.

Baca juga: Sering Salah Kaprah, Bolehkah Makan dan Minum saat Imsak?

Atas dasar tersebut, sebaiknya manusia merasa tidak nyaman atau aman saat berbuat dosa. Allah menyebut orang-orang yang merasa aman dari siksa-Nya sebagai orang-orang yang merugi. Berikut firman Allah yang menyatakan demikian:

“(97) Afa-amina ahlu alquraa an ya/tiyahum ba/sunaa bayaatan wahum naa-imuuna (98) Awa amina ahlu alquraa an ya/tiyahum ba/ sunaa dhuhan wahum yal’abuuna (99) Afa-aminuu makra allaahi falaa ya/manu makra allaahi illaa alqawmu alkhaasiruuna.”

Artinya: “(97) Maka apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang malam hari ketika mereka sedang tidur? (98) Atau apakah penduduk negeri itu merasa aman dari siksaan Kami yang datang pada pagi hari ketika mereka sedang bermain? (99) Atau apakah mereka merasa aman dari siksaan Allah (yang tidak terduga-duga)? Tidak ada yang merasa aman dari siksaan Allah selain orang-orang yang rugi.” (QS al-A’raf: 97-99)

Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi menjelaskan ayat tersebut sebagai berikut:

“Dikatakan, makna ayat ini adalah; tidak merasa aman dari siksa Allah dari orang-orang yang bermaksiat, tidak aman dari siksa Allah dari para pendosa (kecuali orang-orang yang merugi). Adapun para Nabi tidak merasa aman dari azab Allah atas kemaksiatan, oleh sebab itu dengan sendirinya mereka tidak melakukan kemaksiatan.” (Syekh Ismail Haqqi bin Mushthafa al-Khalwati al-Hanafi, Ruh al-Bayan, juz 3, halaman 207)

3. Kebaikan yang berkelanjutan sebagai tanda puasa diterima

Pada Ramadan, Allah melatih manusia untuk membiasakan diri berbuat kebajikan. Tetapi, bukan berarti hal itu terbatas di bulan suci ini, namun juga berlanjut di bulan-bulan setelahnya.
 
Para ulama menjelaskan bahwa tanda puasa Ramadan diterima adalah membiasakan puasa usai Ramadan. Hal itu juga berlaku untuk semua jenis kebaikan yang dilakukan saat menjalankan ibadah puasa satu bulan penuh, seperti bersedekah, membaca Alquran, hingga salat sunah.
 
Apabila amal kebaikan itu berlanjut sampai bulan-bulan setelahnya, maka hal itu menjadi tanda bahwa amalan kita diterima pada bulan puasa. Sebaliknya, jika yang berlanjut adalah berbuat dosa, maka hal itu menandakan ditolaknya puasa dan kebaikan lain yang dilakukan pada Ramadan. 

Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan membiasakan puasa setelah puasa Ramadan merupakan tanda atas diterimanya puasa Ramadan. Sebab, apabila Allah menerima amal seorang hamba, seseorang itu akan diberikan pertolongan. Hal ini seperti yang diucapkan sebagain ulama bahwa pahala suatu kebaikan adalah kebaikan serupa setelahnya.

“Maka barang siapa melakukan kebaikan, kemudian diikuti dengan kebaikan lain setelahnya, hal tersebut merupakan tanda atas diterimanya kebaikan yang pertama. Sebagaimana orang yang beramal baik, kemudian dilanjutkan dengan amal buruk, hal tersebut adalah tanda atas ditolak dan tidak diterimanya kebaikan (yang dilakukan sebelumnya).” (Syekh Ibnu Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, halaman 394)


(SYI)

Berita Terkait