Sosok Buya Hamka, dari Tak Tamat Sekolah hingga Jadi Pahlawan Nasional

Pekan Buku Indonesia 1954. 1954. Djakarta: Gunung Agung. Pekan Buku Indonesia 1954. 1954. Djakarta: Gunung Agung.

Clicks: Pada 17 Februari 1908, lahirlah seorang bayi laki-laki yang kini sosoknya dikenal sebagai sastrawan, ulama, ahli filsafat, hingga aktivis politik. Sosok itu adalah Abdul Malik Karim Amrullah atau akrab disapa Buya Hamka. Hari ini merupakan hari ulang tahunnya yang ke-113.

Ayah dari Hamka adalah seorang ulama Islam yang bernama Abdul Karim Amrullah. Sosok ayahnya sangat dipandang di Sumatra dan ia juga dikenal sebagai pendiri Sumatra Thawalib di Padang Panjang, Sumatra Barat. Sementara, ibunya bernama Siti Shafiyah Tanjung.

Sayangnya, saat Hamka baru menginjak usia enam tahun, orang tuanya bercerai. Kondisi itu menyebabkan Hamka harus terpisah dengan ibunya di usianya yang sangat dini.

Dilansir dari Kemdikbud.go.id, Hamka pertama kali menginjakkan kakinya di sekolah dasar di Padang Panjang saat ia berusia tujuh tahun. Pasalnya, ia tidak tamat dari sekolah itu karena saking nakalnya. Kendati demikian, ia tetap mendapat pelajaran agama dan mengaji.

Walaupun tidak tamat sekolah dasar, Hamka berhasil menamatkan pendidikan agamanya dari dua tempat, yakni Diniyah School dan Sumatra Thawalib milik ayahnya dalam kurun waktu tujuh tahun (1916-1923). Selain mempelajari agama, Hamka juga gemar membaca buku-buku sastra, seperti kaba pantun, hingga cerita rakyat Minangkabau. Hobinya itulah yang membawa nama Hamka menjadi sastrawan terpandang di Indonesia.

Demi memperluas wawasannya, Hamka memutuskan untuk merantau ke Pulau Jawa pada 1924. Perjalanannya dimulai dari Yogyakarta, Surabaya, hingga ke Pekalongan. Selama merantau, ia mengamati pergerakan Islam dari HOS Cokroaminoto, H Facruddin, RM Suryopranoto, hingga St Mansyur.

Setelah setahun di Jawa, ia kembali ke Padang Panjang untuk menjadi seorang pengarang. Akhirnya, ia pun berhasil membuat sebuah novel berbahasa Minangkabau dengan judul ‘Si Sabariah’ pada 1926.

Semua umat Islam tentunya ingin melaksanakan kewajibannya. Oleh karena itu, pada 1927, Hamka berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan tinggal di sana selama enam bulan.

Pria kelahiran Sumatra Barat itu menghabiskan kesehariannya selama berbulan-bulan di sana dengan mengasah kemampuan berbahasa Arab  dan sebagai koresponden harian Pelita Andalas. Pengalamannya di sana juga menginsipirasi Hamka dalam menciptakan novel pertamanya dalam bahasa Indonesia yang berjudul ‘Di Bawah Lindungan Ka’bah’. 

Kemampuan menulis dari Buya Hamka memang sudah tak diragukan lagi. Sejak 1920-an, ia sudah menekuni profesi wartawan di beberapa surat kabar, seperti Pelita Andalas, Seruan Islam, Bintang Islam, dan Seruan Muhammadiyah

Pada 1928, ia juga mendirikan cabang Muhammadiyah di Padang Panjang sekaligus menjadi ketuanya. Saat itulah, ia juga menjadi editor di majalah Kemajuan Masyarakat.

Pada 5 April 1929, Hamka menikah dengan Siti Raham binti Endah Sutan. Hamka dikaruniai sebelas anak dari pernikahannya tersebut. Setelah istrinya meninggal, ia kembali menikah dengan seorang wanita bernama Siti Khadijah.

Singkat cerita, bersama dengan M Yunan Nasution, Hamka memimpin majalan mingguan Pedoman Masyarakat di Medan pada 1934. Pada majalah itulah nama Hamka pertama kali mencuat.

Bertepatan dengan tahun kemerdekaan Indonesia, yakni 1945, Hamka bertolak ke kampung halamannya di Padang Panjang. Di sana, ia dipercayakan untuk memimpin Kulliyatul Muballighin. Dalam kesempatan itu, ia juga melahirkan berbagai karya tulisan, seperti Negara Islam, Islam dan Demokrasi, Revolusi Pikiran, hingga Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi.

Semasa hidupnya Hamka juga memperoleh beberapa gelar. Ia mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas al-Azhar, Kairo (1959); gelar kehormatan di bidang kesusateraan dari Universitas Nasional Malaysia (1974); dan gelar profesor dari Universitas Prof Dr Moestopo.
 
Pada 26 Juli 1975, Hamka memangku posisi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang pertama. Pelantikan Hamka dilakukan dalam Musyawarah Alim Ulama seluruh Indonesia. Ia menjabat sebagai Ketua MUI sampai 1981.

Hamka merupakan salah satu orang di Indonesia yang paling banyak menulis dan menerbitkan buku. Karena itulah dia dijuluki sebagai Hamzah Fansuri di era modern. 

Ia juga disebut Buya yang artinya dalam bahasa Arab adalah abi atau abuya yang berarti ‘ayahku’. Buya merupakan sebuah panggilan yang ditujukan untuk seseorang yang dihormati.

Sosoknya yang sangat berpengaruh di Indonesia, akhirnya membuat Hamka dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 113/TK/Tahun 2011. Keppres itu diterbitkan pada 9 November 2011.

Hamka meninggal di usia 73 tahun, tepatnya pada 24 Juli 1981. Ia pun dikebumikan di Tanah Kusir, Jakarta Selatan. 


(SYI)

Berita Terkait