Menengok Monumen Juang 45 di Malang, Bukan Patung Buto Leyeh-leyeh....

Monumen Juang 45 di Jalan Kertanegara, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur/medcom.id Monumen Juang 45 di Jalan Kertanegara, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur/medcom.id

MALANG: Monumen berwarna coklat keemasan berdiri megah di Jalan Kertanegara, Kecamatan Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Orang awam kerap menyebutnya sebagai 'patung buto', padahal namanya adalah Monumen Juang 45.

Total ada 20 patung manusia berukuran kecil dan satu patung raksasa pada monumen itu. Puluhan patung-patung ini berdiri di atas sebuah bangunan yang dikelilingi kolam melingkar dengan beberapa air mancur.

Di sebelah timur bangunan ini terpahat teks proklamasi kemerdekaan. Tepat di sampingnya ada pahatan sosok Presiden dan Wakil Presiden RI pertama, Soekarno-Moh Hatta yang sedang menyaksikan pengibaran bendera merah putih.

Sedangkan di sebelah utara, selatan, dan barat bangunan terdapat beberapa pahatan. Total ada enam pahatan yang menggambarkan perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajah.

Monumen ini tercatat dibangun pada 20 Mei 1975 oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Malang. Patung-patung yang ada pada monumen ini menggambarkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah pada periode 1945-1949 di Malang.

Pada monumen ini terdapat patung sosok raksasa atau dikenal dengan buto yang tengah terbaring. Di sekeliling patung raksasa itu, terdapat sejumlah patung manusia berukuran kecil yang tengah menjalankan aktivitas.

"Buto atau raksasa itu melambangkan penjajah. Sedangkan, orang kecil-kecil itu, yang seperti liliput adalah rakyat Indonesia. Rakyat yang mengalahkan penjajahan," kata pengamat sejarah di Malang, Agung Buana, Selasa, 8 November 2022.

Banyak orang yang menyebutkan bahwa monumen itu adalah patung buto leyeh-leyeh atau patung raksasa terbaring. Padahal, sosok buto itu jatuh roboh setelah mendapat perlawanan dari rakyat.

"Itu adalah Monumen Juang 45, nama aslinya. Bukan patung buto. Orang bilangnya patung buto leyeh-leyeh. Itu buto-nya kalah digempur oleh rakyat," imbuh Agung.

BACA: Tak Boleh Asal Pasang, Mengenal Jenis Polisi Tidur dan Aturannya

Patung raksasa pada monumen itu menggambarkan sosok penjajah. Wujudnya digambarkan seperti buto ijo, sosok makhluk berbadan besar, bermata bulat, berhidung jambu, dan bergigi besar.

Buto ijo adalah sosok siluman raksasa hijau yang terdapat dalam mitologi Jawa. Salah satu kebiasaan buto ijo adalah menculik anak-anak untuk dijadikan budak dan kemudian dimangsa.

"Itu menggambarkan kalau raksasa itu adalah sosok yang menindas, sosok yang memakan rakyat sendiri. Sehingga pas kalau disimbolkan sebagai raksasa. Raksasa itu kan menindas. Sehingga maknanya kita harus bisa membuat keberanian melawan penjajahan," terangnya.

Di sekeliling patung raksasa berwajah seram itu, terdapat puluhan patung manusia berukuran kecil. Puluhan patung manusia itu terdiri dari pria dewasa, wanita hingga anak-anak.

Ada tiga patung manusia yang berada di bagian atas, tengah menginjak patung raksasa. Ketiga patung ini digambarkan sebagai sosok pejuang, dengan membawa bambu runcing dan senjata.

Di sebelah selatan ada tiga patung yang tengah menggotong seseorang menggunakan tandu. Di belakangnya ada patung yang tengah membopong seseorang yang terlihat sedang terluka.

Sedangkan di sebelah utara, terdapat patung seseorang yang tengah menyeret gerobak. Di belakangnya terlihat patung wanita yang sedang menggendong dan menggandeng anak-anak dengan membawa berbagai barang.

"Patung-patung itu menunjukkan bahwa rakyat bisa mengalahkan penjajah dengan berbagai pengorbanan. Mulai harta maupun nyawa. Itu bagian dari perjuangan. Kemenangan itu harus diusahakan dan diperjuangkan dengan bersama-sama, bersatu, kemudian saling memahami peran masing-masing," jelasnya.

 


(TOM)

Berita Terkait