KH Hasyim Asyari, Pendiri NU Pencetus Fatwa Resolusi Jihad 10 November

KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU pencetus fatwa resolusi jihad 10 November (Foto / Istimewa) KH Hasyim Asy’ari, pendiri NU pencetus fatwa resolusi jihad 10 November (Foto / Istimewa)

SURABAYA : KH Hasyim Asy'ari merupakan ulama kharismatik paling terkemuka di Indonesia. Jasanya sangat besar dalam kemerdekaan Indonesia. Salah satunya dengan mencetuskan Fatwa Resolusi Jihad pada 10 November 1945.

Fatwa Jihad yang dicetuskan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) itu mampu menggerakkan warga dan juga kalangan santri untuk menghantam pasukan sekutu di Surabaya. Keluarnya Resolusi Jihad tersebut tak lepas dari permohonan Presiden Soekarno pada 17 September 1945, yang memohon fatwa hukum kepada KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin organisasi Islam terbesar di Indonesia.

Hal yang sama juga dilakukan Mayor Jenderal TKR Mustopo, sebagai komandan sektor perlawanan Surabaya pada waktu itu, bersama Sungkono, Bung Tomo, dan tokoh-tokoh Jawa Timur menghadap KH Hasyim Asyari.

Intinya, para tokoh itu meminta fatwa untuk melakukan perang suci atau jihad dengan sasaran mengusir sekutu dan NICA yang dipimpin oleh Brigjen Mallaby di Surabaya. Di tengah situasi yang memanas, pada 21-22 Oktober 1945, wakil-wakil dari cabang NU di seluruh Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya.

Dipimpin langsung oleh Mbah Hasyim, dideklarasikanlah perang kemerdekaan sebagai perang suci atau jihad mewajibkan bagi umat Islam khususnya warga Nahdliyyin dalam radius 94 km dari Surabaya untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Selain memiliki komitmen kebangsaan yang kuat, KH Hasyim Asy’ari juga membumikan pandangan keagamaan yang moderat, persaudaraan di tengah-tengah umat yang beragam dan kemerdekaan dari penjajahan, Sebab itu, para ulama memberinya gelar Hadratussyaikh yang artinya mahaguru atau mahaulama.

Baca Juga : Deretan Pahlawan Keturunan Tionghoa, Ada Arek Suroboyo!

Sejarah Singkat Kehidupan

Dikutip dari buku Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari (moderasi, keumatan dan kebangsaan) yang ditulis Zuhairi Misrawi (2010), KH Hasyim Asy’ari lahir pada Selasa 14 Februari 1871 atau bertepatan dengan 24 Dzulqa’dah 1287 di Pesantren Gedang, Tambakrejo, Jombang, Jawa Timur. Pesantren ini berada 2 km ke arah utara Jombang. Keluarga KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai keluarga ulama kharismatik.

Ayah KH Hasyim Asy’ari adalah ulama asal Demak dan kakeknya Kiai Usman pendiri Pesantren Gedang, Jombang. Bagi masyarakat Jawa, ulama merupakan sosok yang terhormat. Ulama menduduki poasisi elite di tengah kaum santri yang cenderung religius dan priyayi dalam masyarakat abangan. Saat masih dalam kandungan, Ibunda KH hasyim Asy’ari, Nyai Hjjah Halimah melihat tanda-tnada luar biasa.

Pada suatu malam, Nyai Halimah bermimpi bulan jatuh dari langit dan hinggap di kandungannya. Tentu mimpi tersebut merupakan pertanda yang sangat baik bahwa kelak anak yang akan lahir merupakan sosok yang istimewa di kemudian hari yang mempunyai kecerdasan, talenta dan bimbingan dari Allah SWT.

Tanda-tanda lainnya, Kiai Hasyim berada di dalam kandungan ibunya kurang lebih 14 bulan yang ditafsir banyak orang sebagai keistimewaan. Kiai Hasyim muda diramalkan akan menjadi tokoh besar dan ramalah itu terbukti benar di kemudian hari. Menurut Ishom hadzik (2000) dalam KH Hasyim Asy’ari: Fajar Ulama dan pejuang Sejati, Nyai Halimah dikenal sebagai perempuan yang taat beribadah.

Konon dia berpuasa selama tiga tahun berturut-turut. Puasa tersebut diniatkan untuk sebuah kebaikan. Puasa pada tahun pertama diniatkan untuk diri sendiri. Puasa pada tahun kedua diniatkan untuck anak dan cucunya. Puasa pada tahun ketiga diperuntukkan bagi para santrinya agar mereka senantian dilindungi Allah dan sukses dalam menjalani hidup.

Ketika lahir, Kiai Hasyim sudah diramal oleh dukun anak akan menjadi seorang tokoh yang berpengaruh. Kiai Hasyim Asy’ari adalah putra ketiga dari 11 bersaudara. Ayahnya Kiai Asyari asal Demak, seorang santri brilian di pesantren Kiai usman. Ibunya Nyai Halimah putri Kiai Usman. Sang ibu merupakan putri pertama dari lima bersadura.

Dari pernikahan Kiai Asy’ari dan Nyai Halimah, lahirnya KH Hasyim Asy’ari. Dia mempunyai 10 saudara yaitu, Nafi’ah, Ahmad Saleh, Radiah, Hasan, Anis, Fathanah, Maimunah, Maksum, Nahrawi, dan Adnan. KH Hasyim Asyari mempunyai nasab keturunan yang istimewa. Dari garis keturunan ayah, mempunyai pertalian darah dengan Maulana Ishaq hingga Imam Ja’far Shadiq bin Muhammad Baqir.

Dari garis Ibu, mempunyai pertalian darah dengan Raja Brawijaya VI (Lembu peteng) yang mempunyai anak Jaka Tingkir atau Karebet. Jaka Tingkir adalah Raja Pajang pertama bergelar Sultan Pajang atau Pangeran Adiwijaya. Karakter keulamaan yang melekat pada sosok Kiai Hasyim Asy’ari bermula dari pendidukan orang tua dan kakeknya yang dikenal sebagai ulama. Kiai Hasyim diasuh kakeknya hingga usia enam tahun, Sejak kecil, dia ditempa pendidikan agama dan lingkungan pesantren.

Kecerdasannya mulai terlihat saat berusia 13 tahun. Kiai hasyim muda dipercaya mengajar para santri di Pesantren Keras dan diangap sudah mempunyai kapasitas keilmuan. Di lingkungan pesantren, mereka yang dikarunia kecerdasan luar biasa dikenal dengan sososk yang mempunyai ilmu laduni yaitu kecerdasan yang diberikan Allah SWT kepada hamba pilihan-Nya.

Sejarah Pendidikan

Meski sudah dipercaya mengajar para santri, Kiai Hasyim muda tak berhenti mengarungi lautan ilmu. Pada usia 15 tahun, Kiai Hasyim mengembara ilmu di pesantren lain mulai jadi sntri di Pesantren Wonorejo, Jombang, Pesantren Wonokoyo Probolinggo dan pesantren Langitan, Tuban.

Setelah itu, melanjutkan ilmu agama di Pesantren Kademangan, Bangkalan, Madura. Pesantren ini menjadi pesantren terkenal di kalangan Muslim tradisional karena sosok pendirinya yakni Kiai Cholil bin Abdul Latif yang dikenal dengan KH Cholil Bangkalan.

KH Cholil merupakan kiai yang pertama kali memopulerkan kitab babon Bahasa Arab yaitu Alfiyah ibnu Malik dan dianggap sebagai waliyullah. Di pesantren Kiai Cholil, KH Hasyum Asy’ari menempuh pendidikan selama tiga tahun. Pada 1891, Kiai Hasyim melanjutkan pendidikannya ke Pesantren Siwalan, Sidoarjo asuhan Kiai Ya’qub. Di pesantrenn itu, Kiai Hasyim belajar agama selama lima tahun dan diminta untuk menikahi putri Kiai yaqub, yakni Khadijah.

Selepas menikah, Kiai Hasyim menunaikan ibadah haji. Namun, selesai haji, Kiai hasyim tidak lantas pulang ke Tanah Air. Kiai Hasyim memilih menetap di Mekkah untuk belajar agama selama tujuh bulan. Di mekah, Kiai hasyim dikaruniai putra yakni Abdullah.

Namun, kegembiraan itu berubah duka setelah sang istri Nyai Hajjah Khadijah wafat. Setelah itu, Kiai Hasyim pulang ke Tanah Air. Namun, tidak lama sekembalinya dari Mekkah tepatnya tahun 1893, Kiai Hasyim kembali ke Mekkah untuk menuntu ilmu. Kali ini, Kiai Hasyim ditemani adiknya Anis. Namun, sanga adik dipanggil Allah SWt dan dimakamkan di Mekkah.

Peristiwa itu lantas membuat Kiai Hasyim semakin dekat dengan Allah. Selama di Mekkah, Kiai Hasyim menimba ilmu ke sejumlah ulama terkenal. Di antaranya Syaikh Syuaib bin Abdurrahman, Syaikh mahfudz al Turmusi, Syaikh Khatib Al Minangkabawi, Syaikh Amin Al Aththar, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Al Yamani, Syaikh Rahmatullah dan Syaikh Bafadhal.

Kiai Hasyim belajar ilmu hadis ke Syaikh Mahfudz al Tumursi, ulama asal Termas. Ia ulama yang mengajarkan kitab Sahih Bukhari di mekkah. Dari syaikh Akhmad Khatib, Kiai Hasyim belajar ilmu fikih mazhab Syaifii. Konon KH Ahmad Dahlan pendiri Muhammadiyah juga salah satu murid Syaikh Ahmad Khatib.

Kesungguhan Kiai Hasyim menuntut ilmu membuahkan hasil manis. Kiai Hasyim ditunjuk sebagai salah satu guru di masjidil Haram bersama para ulama Indonesia lain di antaranya Syeikh Nawawi al bantani dan Syaikh Khatib Al Minangkabawi. Ulama asal Indonesia pada masa lalu bukan hanya murid ulama Timur Tengah dan dunia Islam lainnya tetapi mereka juga sebagai guru karena kedalaman ilmu agamanya.

Setelah tujuh tahun menetap di Makkah, Kiai Hasyim kemudian kembali ke kampung halaman pada 1899. Pada mulanya, Kiai Hasyim tinggal di rumah mertuanya di Kediri. Lalu, dia membantu kakeknya, Kiai Usman mengajar di pesantren Gedang hingga kemudian membantu ayahnya, Kiai Asy'ari mengajar di Pesantren Keras, Jombang dan kemudian mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng.

Pada awalnya, mendirikan Pesantren Tebuireng bukan perkara mudah karena saat itu orang-orang di kawasan Jombang terkenal dengan perilaku buruk. Namun, hal itu tidak menyurutkan tekat Kiai Hasyim. Awalnya, pesantren yang dibangun hanya beberapa bilik atau kamar dari taratak atau bambu. Santri pada masa itu hanya berjumlah delapan orang.

Lambat laun, kealiman dan kezuhudan Kiai Hasyim membuat masyarakat Jombang menerima dakwahnya hingga membuat pesantrennya semakin berkembang.

Baca Juga : Google Doodle Tampilkan Roehana Koeddoes, Siapa Dia?

Komitmen Keumatan

Tak hanya konsen pada pendidikan agama, Kiai Hasyim juga peduli dengan persoalan keumatan. Puncak komitmennya dalam menyelamatkan umat dari kubangan kebodohan, kemiskinan dan ketidakadilan yakni dengan mendirikan organisasi sosial-keagamaan yang diberi nama Nahdtalul Ulama.

Organisasi NU ini tidak bisa dipisahkan dari kiprah Kiai Hasyim bersama Kiai Abdul Wahab Hasbullah dan beberapa ulama lainnya. Organisasi NU ini didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926.

 


(ADI)

Berita Terkait