Kisah Pilu Keluarga di Jember, Setahun Tinggal di Pos Kampling

Keluarga Solehudin dan dua anaknya tinggal di pos kampling selama setahun terakhir (Foto / Metro TV) Keluarga Solehudin dan dua anaknya tinggal di pos kampling selama setahun terakhir (Foto / Metro TV)

JEMBER : Kisah pilu dialami Solehudin (32) dan kedua anaknya Zahra Zahra Fitriani (9), dan Salsabila Putri Aini (8). Setahun terakhir, keluarga kecil ini tinggal di pos kampling di Kelurahan Baratan, Kecamatan Patrang. Alasanya, dia tak punya tempat tinggal di Jember.

“Awalnya sang ayah kerja serabutan di Bali. Istrinya kecelakaan, meninggal. Dia pulang ke Jember. Kerja serabutan lagi akhirnya bertempat tinggal di poskamling itu,” kata Kepala Dinas Sosial Jember Widi Prasetyo, Rabu 6 Oktober 2021.

Widi mengontak camat setempat dan meminta agar keluarga itu dievakuasi ke ke tempat yang layak. Anggota DPRD Jember David Handoko Seto ikut serta dalam evakuasi tersebut. Solehudin dan anak-anaknya dipindahkan ke Rumah Indah Sehat yang diasuh KH Saiful Rijal alias Gus Saif.

“Orang tuanya mau dan boyongan dari poskamling ke tempat Gus Saif. Ternyata anaknya menangis tidak mau. Akhirnya terpaksa kembali ke poskamling,” kata Widi.

Kebetulan, ada warga setempat yang menawarkan rumahnya yang kosong agar ditempati Solehudin. “Anak-anak Pak Soleh. Anak kecil memang butuh teman bermain. Apalagi mereka sudah tinggal setahun di lingkungan sana,” kata Widi.

Baca Juga : Tim Investigasi Selidiki Kasus Pelajar Meninggal Setelah Divaksin

Rumah itu sangat layak untuk ditempati. Dinas Sosial pun memberikan bantuan berupa makanan selama satu bulan ke depan. “Banyak teman yang bersimpati. Ada bantuan kasus, alas lantai, kebutuhan mandi, dan peralatan masak,” kata Widi.

Widi mengupayakan agar jaminan kesehatan keluarga itu sudah ditanggung. “Tapi saya minta agar dia tidak mengemis, soalnya masih muda. Saya minta juga kepada camat dan lurah agar pendidikan dua anak diperhatikan dan didaftarkan ke sekolah dasar terdekat. Masalah seragam kami yang tanggung. Yang penting dua anak itu sekolah. Wajib belajar 12 tahunnya harus dijamin,” katanya.

Widi juga mengupayakan keluarga Solehudin masuk dalam DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) sehingga bisa mendapatkan bantuan sosial permanen. “Dia tak mungkin menumpang terus. Saya sempat tanya apakah keluarganya ada yang punya lahan kosong. Ternyata tidak ada,” katanya.

Yudi, warga setempat yang meminjamkan rumah kosongnya untuk ditempati sementara, bersedia memberikan sebagian lahan kosong miliknya untuk dibangunkan rumah bagi Solehudin. Widi setuju, asalkan ada pernyataan tertulis di atas materai. “Saya tidak mau setelah dibangun lalu ada yang menggugat. Jadi kalau mau meminjamkan tanah, saya minta diketahui Muspika,” kata Widi.


(ADI)

Berita Terkait