Tradisi Unik Warga Using Banyuwangi Saat 14 Suro, Mendadak Makan Bunga

Salah satu tradisi suku using, Banyuwangi (Foto / Istimewa) Salah satu tradisi suku using, Banyuwangi (Foto / Istimewa)

BANYUWANGI : Puluhan warga suku Using di Lingkungan Pancoran, Kelurahan Banjarsari, Kecamatan Glagah menggelar bersih desa. Ritual ini dipusatkan di sebuah sumber mata air yang dipercaya sebagai sumber kehidupan bagi warga setempat. Berbagai macam sesaji disiapkan oleh warga kampung. Mulai dari makanan khas pecel pitik, ubo rampe berupa bunga dan cok bakal serta kemenyan lengkap sebagai perantara sesembahan.

Sebelum ritual dimulai, para warga harus membawa seluruh perlengkapan itu menuju ke titik acara yakni di sumber mata air Pancoran. Mereka harus berjalan beriringan dengan jarak cukup jauh mencapai 2 Kilometer dari permukiman warga. Sesampainya di lokasi, ritual bersih desa ini dimulai dengan pembacaan doa oleh tokoh adat dengan membakar serat batok kelapa yang diberi kemenyan serta menyiapkan beberapa sesajen di sumber mata air. Isi sesaji itu, di antaranya jeroan ayam kampung, bunga mawar, nasi putih dan lauk pecel pitik.

Saat berjalannya ritual, tokoh adat tiba-tiba kerasukan roh leluhurnya. Roh itu diyakini sebagai manifestasi Mbah Buyut Sentono sebagai penjaga sumber mata air desa setempat. Tingkah aneh muncul. Sang tokoh tiba-tiba tak sadar mengendus wewangian sari bunga dan asap kemenyan dari sesaji. Bahkan, dengan mata terpejam ia mengunyah bunga yang berada di takir atau wadah terbuat dari daun pisang yang disematkan.

BACA JUGA : Pro dan Kontra Masyarakat Saat Menikah di Bulan Muharram, Begini Penjelasannya

Tak lama, ritual usai diakhiri dengan doa bersama. Seluruh warga percaya adanya ritual akan memutus tolak bala dan menyambung rejeki di kemudian hari. Usai doa, warga secara bersama-sama menyantap nasi beserta lauk pecel pitik di bawah pohon beringin. Suasana guyub rukun tampak dari gelak tawa, dan bercengkrama antar sesama.

Ritual bersih desa ini, dilaksanakan setiap tanggal 14 Muharram atau bulan Suro dalam penanggalan Jawa. Ritual digelar di sumber mata air Pancoran karena dinilai sakral dan dianggap sebagai sumber mata air yang dapat mengalir terus meski di musim kemarau.

“Ya ini merupakan adat ritual bersih desa. Setiap tahun kita laksanakan sebagai bagian dari ritual turun temurun. Kita anak muda harus meneruskan apa yang dilakukan orang terdahulu,”

“Ritual di sumber ini. Karena ini memiliki nilai tersendiri bagi kami. Untuk kesejahteraan para warga khususnya para petani,” ungkap Abu Bakar, tokoh warga, Senin 23 Agustus 2021.

Selain itu, adanya sumber mata air itu dapat memberikan kehidupan terhadap masyarakat dan lahan pertanian yang sebagian besar warganya adalah petani.


(ADI)

Berita Terkait