Santri ICMBS Sidoarjo Tewas, Diduga Dikeroyok di Asrama

Orang tua korban histris saat jenazah putranya tiba di rumah duka/medcom.id Orang tua korban histris saat jenazah putranya tiba di rumah duka/medcom.id

SIDOARJO: Kasus kekerasan di lembaga pendidikan keagamaan hingga membuat santri meninggal terjadi lagi. Kali ini menimpa murid yang bersekolah di Insan Cendekia Mandiri Boarding School (ICMBS) Sidoarjo, Jawa Timur.

Kabar duka itu diketahui Heti Hamid, ibu dari korban Fauzan  (17 tahun) asal Desa Kalosi, Kecamatan Alla, Kabupaten Enrekang, Provinsi Sulawesi Selatan,  pada Senin 12 September 2022.  Awalnya pihak sekolah menyatakan, korban meninggal karena terjatuh dari lantai 3.

Namun orang tua korban curiga dengan kondisi jenazah putra hingga akhirnya melapor ke Polres Sidoarjo. Diduga korban meninggal karena dikeroyok teman sekolahnya.

“Menurut orang tua korban, sekolah berasrama tersebut menyampaikan anaknya masuk UKS dalam kondisi kejang kejang dan langsung pingsan. Sekolah melalui RS Sidoarjo meminta ijin operasi karena darah keluar terus menerus dari mulut karena pembekuan darah di otak, kemudian dilaporkan anak meninggal,” ungkap Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Jasra Putra Selasa, 20 September 2022.

“Setelah melihat jenazah, ibu korban bersedih, dan kepalanya ada jahitan panjang, dan sekolah menyampaikan lompat dari lantai 3, dan orangtua semakin curiga. Orangtua kemudian memilih proses hukum dengan melapor ke Polres Sidoarjo, karena merasa ada kejanggalan setelah melihat langsung jenazah anaknya. Akhirnya informasi terakhir, sekolah merubah lagi keterangan, dengan menyampaikan meninggal anak akibat berkelahi satu lawan satu,” imbuh Jasra.

BACA: Kasus Kekerasan Pondok Gontor, Polisi Periksa Dokter yang Keluarkan Surat Kematian Albar Mahdi

Peristiwa ini menambah daftar panjang kekerasan yang diselesaikan di ranah privat lembaga pendidikan. Jasra menyayangkan seolah sudah menjadi suratan anak-anak yang meninggal di ranah privat lembaga pendidikan bertipe “ponpes atau asrama” bukan lagi urusan orang tua.

“Ketika diserahkan kepada sekolah, ternyata sekolah tidak jujur. Seolah-olah ketika anak sudah dititipkan di sana, anak terputus nasabnya dari orang tua kandung. Saya kira kita harus mengingat kembali tentang ratifikasi Konvensi Hak Anak yang memasukkan Kafalah sebagai pengakuan pola pengasuhan alternatif dengan tidak memutus nasab,” jelas Jasra.

Meski penyebab meninggalnya anak dianggap tidak tunggal, namun ketika pandangan bahwa anak yang dititipkan menjadi milik lembaga, yang menjadi pijakan dalam menetapkan segala aturan, maka lembaga terjebak dalam menyegeramkan semua kondisi anak dalam peraturan dan keamanan sekolah.

BACA:

“Sehingga menurut saya, itu telah mengikis kebijakan, SOP, aturan yang dibuatnya sendiri, dalam memperhatikan keselamatan anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus, karena anak anak yang terlepas dari orangtua, dalam peraturan negara kita dimasukkan dalam anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus dalam perlindungan dalam PP Perlindungan Khusus Anak. Karena kondisi kerentanan yang sewaktu waktu dapat terjadi,” tutur Jasra.

Jasra berhadap sekolah tipe asrama, disarankan bekerjasama dengan lembaga-lembaga rujukan terpercaya, yang memilliki kebijakan bekerja dengan anak dan kode etik bekerja dengan anak, agar apa yang diragukan sekolah berasrama tentang keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan tetap berjalan.

“Negara sudah menyiapkan layanan prodeo baik secara hukum, paralegal, maupun pendampingan khusus yang dibutuhkan. Sehingga sekolah berasrama tidak ragu, karena protap pekerjaan mereka telah diatur Undang Undang dan aturan terkait. Seperti Dinas Perempuan dan Perlindungan Anak, Relawan SAPA 129 yang memiliki Task Force lintas profesi dan tempat koordinasi lintas dinas dan lembaga,” kata dia.

“Saya kira dengan seringnya penyelesaian kekerasan di ranah privat, sekolah berasrama perlu jembatan, soal bagaimana melapor kekerasan, dengan lembaga lembaga yang terpercaya, yang bekerja dengan kdoe etik dan diberi mandat jelas, agar proses kasus tidak mengganggu proses pendidikan. Namun tetap tujuan mencabut akar kekerasan itu terjadi, sehingga akar kekerasan dalam pendidikan berasrama dapat dicabut, dengan tidak mentolerir siapapun,” tandasnya

 


(TOM)

Berita Terkait