Untuk Cegah KDRT, Psikologi Sarankan 'Me Time' Agar Emosi Tetap Stabil

Ilustrasi: Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (ANTARA/HO/Istimewa) Ilustrasi: Kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga (ANTARA/HO/Istimewa)

Psikolog menyarankan beberapa cara yang dapat dilakukan para pasangan suami istri (pasutri) untuk mengelola emosi dalam pernikahan supaya tak berakhir pada kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Salah satunya, dengan cara meluang waktu untuk diri sendiri atau me time guna menjaga emosi tetap stabil.

“Luangkan waktu untuk me time agar kondisi emosi lebih stabil dan bisa me-refresh mood,” ujar psikolog klinis dewasa, Annisa Prasetyo Ningrum, dikutip dari Antara, Sabtu, 15 Oktober 2022.

Anggota Ikatan Psikologi Klinis Jawa Barat tersebut menuturkan bahwa ketika tengah marah, sebaiknya jauhi sejenak sumber emosi dan coba untuk menenangkan diri. Cara yang dapat dipraktikkan adalah dengan mengatur napas sehingga tubuh menjadi lebih santai dan kemarahan menjadi berkurang.

Annisa juga menyarankan untuk melakukan identifikasi sumber apa yang memicu kemarahan, apa hal yang dirasakan, dan apa yang diharapkan.

“Ketika emosi sudah lebih tenang, baru coba diskusikan masalah dengan pasangan,” katanya.

Berikan penjelasan pada pasangan tentang perasaan dari sudut pandang masing-masing. Kemudian, ungkapkan apa yang diharapkan supaya situasi kembali membaik.

Perlu diingat, diskusi dengan pasangan dilakukan bukan untuk saling mencari pembenaran. Namun, untuk mencari jalan keluar dari persoalan yang ada.

Sebagai pasutri, kompromi perlu dilakukan dan setiap orang harus memahami bahwa tak ada pasangan yang sempurna. Semua orang pasti mempunyai kekurangan dan hal tersebut harus diterima.

Ia pun berpesan untuk tidak gengsi atau malu untuk minta maaf jika memang seseorang bersalah.

Jika butuh atau perlu penenang, pasutri bisa meminta masukan dari keluarga atau bahkan profesional seperti psikolog atau konselor pernikahan. Khususnya, apabila diskusi antara suami dan istri tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Bagi orang-orang yang tengah mencari pasangan untuk berumah tangga, disarankan untuk mengenali lebih dalam karakter pasangan dan mengamati apakah ada “sinyal” berbahaya yang menunjukkan tendensi kekerasan.

Menurutnya, kadang-kadang sulit untuk mengidentifikasi apakah seseorang berpotensi melakukan kekerasan seusai berumah tangga atau tidak. Lantaran, biasanya awal hubungan berjalan dengan baik dan lancar.

Akan tetapi, ada beberapa “sinyal” yang dapat jadi pertimbangan sebelum melanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan.

“Beberapa hal yang bisa menjadi red flags seseorang berpotensi melakukan kekerasan di antaranya bersikap kasar atau membuat orang lain merasa takut atau terintimidasi,” jelasnya.

Lalu, waspada jika pasangan mudah merendahkan atau mempermalukan orang lain. Seseorang juga patut berhati-hati apabila pasangannya memiliki sifat terlalu ingin mengontrol, termasuk membatasi siapa saja yang boleh berteman dan berinteraksi dengan pasangan, bahkan keluarganya sendiri.

Waspada juga jika pasangan sering mengancam atau memaksakan kehendak dan tidak terbuka mengenai kondisi keuangan.

Perlu pertimbangan lagi apabila pasangan tak pernah mau berdiskusi. Serta, selalu merasa berada di pihak yang benar saat timbul konflik.

Pertanda lainnya dapat bervariasi. Tetapi, Annisa berpendapat bahwa biasanya kesamaan yang dipunyai oleh kebanyakan hubungan dengan kekerasan ialah pelaku kekerasan melakukan berbagai cara untuk tampak lebih dominan dan mempunyai kendali atas pasangannya.


(SUR)

Berita Terkait