Regulasi Baru Bikin Industri Gula di Jatim Terancam

Ilustrasi gula Ilustrasi gula

SURABAYA: Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Alam (Lakpesdam) PWNU Jawa Timur (Jatim) menilai kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur (Jatim) merupakan dampak dari pemberlakuan Permenperin Nomor 3 Tahun 2021.
 
Sekretaris Lakpedam PWNU, Khoirul menyebut aturan itu diskriminatif dan menyebabkan persaingan usaha yang tidak sehat karena membatasi impor gula mentah (raw sugar) hanya kepada pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010.

"Patut disayangkan, dengan Permenperin 3/2021, pasokan gula rafinasi hanya menjadi hak istimewa segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010. Indikasi kartel ini menyebabkan kelangkaan pasokan gula rafinasi di Jawa Timur karena tidak ada pabrik gula di Jawa Timur yang mendapat izin impor gula mentah dan memasok gula rafinasi untuk kebutuhan industri pengguna di Jawa Timur," ujar  Khoirul Rosyadi, dalam keterangan resminya, Senin, 19 April 2021.


Pabrik gula di Jawa Timur berhenti menyuplai kebutuhan gula rafinasi untuk industri pengguna skala UKM dan pabrik di Jawa Timur karena tidak diperbolehkan lagi melakukan impor dan mengolah gula mentah menjadi gula rafinasi karena izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010.
 
Sementara itu, ketersediaan tanaman tebu saat ini tidak dapat memenuhi masa giling satu tahun sehingga kelangsungan pabrik gula di Jawa Timur bakal terancam.

 
Khoirul mengatakan regulasi industri gula seharusnya mempertimbangkan aspek persaingan usaha yang sehat dari hulu hingga ke hilir dan tata kelola industri gula yang berkesinambungan.  Semua pabrik gula seyogyanya didorong untuk memiliki dan bekerja sama dengan perkebunan tebu dan mengurangi impor gula mentah.


Kenyataannya, keran impor gula mentah hanya dibuka untuk segelintir perusahaan pabrik gula yang izin usahanya terbit sebelum 25 Mei 2010, sementara yang lain harus untuk menyerap gula tebu yang pasokannya tidak cukup untuk satu tahun.
 
Pengamat ekonomi Institute For Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad menegaskan, aturan tersebut memiliki dampak merugikan bagi semua pihak, baik pabrik gula yang izin usahanya terbit setelah 25 Mei 2010, petani tebu, dan industri pengguna, seperti industri mamin di Jawa Timur.

Pabrik gula yang tidak mendapatkan izin impor bakal kekurangan gula mentah, sementara industri pengguna seperti perusahaan mamin di Jawa Timur mendadak mengalami kelangkaan pasokan gula rafinasi karena selama ini mendapat pasokan dari pabrik gula di Jawa Timur.
 
Di lain pihak, Permenperin 03/2021 melemahkan kontrol atas impor gula dan mendukung hadirnya gula rembesan. Dalam aturan tersebut, rekomendasi izin impor gula mentah dapat diperoleh pabrik gula tanpa menyertakan kontrak jual beli gula rafinasi dengan industri pengguna.
 
Perubahan bongkar muat gula impor juga tidak memerlukan persetujuan dan rekomendasi dari kementerian, sehingga pabrik gula dapat melakukan bongkar muat gula impor di pelabuhan mana saja. Gula rembesan tersebut mengancam petani tebu karena menyebabkan kelebihan pasokan gula konsumsi di pasaran dan disparitas harga.
 
"Aturan Permenperin 3/2021 tersebut banyak kelemahan, cenderung menguntungkan segelintir perusahaan, dan mengacaukan tata kelola industri gula hulu dan hilir secara terpadu. Aturan ini harusnya direvisi," kata dia.
 
Ketua Asosiasi Pesantren Entrepreneur Indonesia (APEI) Muhammad Zakki menambahkan pihaknya menyambut baik upaya Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk turun langsung dan menyaksikan kondisi riil industri mamin di Jawa Timur.

Namun, dia tetap menyarankan agar Permenperin 3/2021 dicabut agar tidak diskriminatif dan mendorong pengurangan impor gula secara bertahap tanpa merugikan semua pihak di hulu dan hilir industri gula.
 
Ketentuan batas izin usaha 25 Mei 2010 harus dicabut dan mendorong semua industri gula tebu untuk dapat memproduksi gula rafinasi selain gula kristal putih sesuai amanah UU Perkebunan Nomor 39 tahun 2014, sekaligus untuk menggairahkan perkembangan industri gula nasional di berbagai provinsi.
 
"Dengan mempertimbangkan kebutuhan gula rafinasi di Jawa Timur yang cukup banyak, juga untuk provinsi-provinsi lainnya, akan lebih bijak apabila masing-masing daerah, kebutuhannya dipenuhi dari industri gula di daerah tersebut yang telah mendapatkan izin dan memenuhi persyaratan teknis. Hal ini akan mendorong persaingan sehat dengan distribusi yang efisien. Pasokan gula rafinasi dari luar Jawa Timur tidak efisien untuk kami," pungkasnya.
 

 


(TOM)

Berita Terkait